Kamis, 26 Juli 2012

JALUR PENDAKIAN GUNUNG BAWAKARAENG

Gunung Bawakaraeng berdiri dengan ketinggian 2.830m d.p.l, dan berada pada posisi 119°56′40″ BT dan 05°19′01″ LS. dan suhu minimum adalah sekitar 17°C hingga maksimum 25°C. Hutan gunung ini didominasi oleh vegetasi hutan dataran rendah, hutan pengunungan bawah dan hutan pegunungan atas. Tumbuhan yang banyak ditemui diantaranya Jenis pinus, anggrek, edelweis, paku-pakuan, pandan, cengkeh, santigi, rotan, lumut kerak dan lain sebagainya. Sedangkan untuk jenis fauna yang bisa ditemui antara lain, Anoa, babi hutan, burung pengisap madu, burung coklat paruh panjang dan lainnya. Gunung ini merupakan darah tangkapan air untuk Kabupaten Gowa, Makassar dan Sinjai. Juga merupakan hulu sungai Jene’ berang. Serta merupakan Kawasan Hutan Wisata. Gunung ini juga termasuk kedalam kawasan Hutan Lindung Lompobatang. Gunung Bawakaraeng yg menurut masyarakat sekitar punya arti Bawa = Mulut dan karaeng = Tuhan, kalau diartikan menjadi Gunung Bawakaraeng = Gunung Mulut Tuhan, termasuk kedalam wilayah kawasan Hutan Lindung Lompobatang. Pada bulan menjelang Idhul Adha, Gunung ini menurut penduduk akan menjadi sangat ramai, karena sebagian kecil masyarakat di kabupaten Gowa percaya, kalau mendaki Gunung bawakaraeng, sama dengan melakukan perjalanan ke Tanah Suci, jadilah istilah Haji Bawakaraeng. Gunung Bawakaraeng yg posisinya sangat dekat dengan laut, juga pada malam hari kota Makassar terlihat begitu indah dari puncak bawakaraeng, ternyata gunung ini menyimpan banyak misteri, dan banyak juga legenda Mistis yg melekat di gunung ini.
Dibalik itu, sebagai gunung yg paling sering dikunjungi dan pada bulan – bulan di musim penghujan, kondisi cuaca di gunung ini menjadi sangat buruk dan sering terjadi badai di pegunungan lompobatang. Waktu kunjungan terbaik biasanya di anjurkan pada bulan Mei – September, karena pada bulan tersebut cuaca lumayan baik dan pemandangan alam akan begitu terlihat indah. Gunung ini hanya berjarak 75 km dari Kota Makassar dan menjadikan gunung favorites bagi pendaki di Kota Makassar dan sekitarnya.

depan kampus pasca keberang katan
Rute Pendakian
Secara Geografis, Gunung Bawakaraeng terletak di Kabupaten Gowa, akan tetapi pencapaian menuju puncak gunung ini dapat dilakukan dari dua jalur yaitu, jalur Lembanna yang juga terletak di kabupaten Gowa. Dan jalur satunya adalah jalur Tassoso’ yang terletak di Kabupaten Sinjai.

Desa lembanna

JALUR LEMBANNA
Lembanna terletak disebelah Utara Laut puncak Bawakaraeng. Daerah ini juga berada tepat dikaki gunung Bawakaraeng dengan ketinggian 1.400m d.p.l, pada posisi koordinat 119°54′18″ BT dan 05°15′15″ LS. Mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Curah hujan rata-rata adalah 2.034mm/tahun dengan suhu udara minimum 15°C dan maksimum 20°C. umumnya penduduknya ber etnik Makassar atau penduduk asli, dan umumnya rumahnya bersedia digunakan untuk bermalam. Desa yg termasuk dalam kecamatan Tinggi Moncong, kabupaten Gowa, lebih dikenal dengan daerah Wisata Malino.Masyarakat desa Lembana ini sangat ramah dan bersahabat, banyak pendaki yang menginap gratis di rumah penduduk sebelum mendaki, Tiap akhir pekan tempat ini selalu ramai dikunjungi oleh Pendaki yang ingin mendaki gunung Bawakaraeng ataupun orang yang hanya sekedar santai menikmati hari libur dikaki gunung Bawakaraeng. Urutan pencapaian dari Makassar sebagai berikut:
Makassar–> Sungguminasa–> Malino–> Lembanna–> Puncak Gunung Bawakaraeng
Jika datang dari Makassar atau dari Luar pulau sulawesi, naik angkutan Kota menuju ke Terminal Gowa, atau bisa juga Turun di perempatan Sunggu Minasa, Jalan arah ke Malino. Dari sini, Naik Angkutan Pedesaan jurusan Malino, waktu tenpuh kurang lebih 2-3 jam perjalanan. Biasanya Sopir angkutan sudah hafal, kalau ada pendaki yg akan mendaki Bawakaraeng, Sopir Angkutan akan mengantar sampai ke Desa lembanna. Desa terakhir di kaki gunung Bawakaraeng. Tariff per Orang Rp. 8000. para pendaki pada umumnya bermalam terlebih dahulu di Desa lembanna, yg punya ketinggian 1400 Mdpl, baru keesokan paginya pendakian dimulai. Atau bisa juga melakukan pendakian pada Malam hari.
Desa Lembanna
Pendakian dimulai dari Desa Lembanna, medannya berupa perkebunan penduduk lalu mulai masuk pintu Hutan Pinus dan untuk mencapai Pos 1 dibutuhkan waktu 1-2 jam perjalanan.
Pos 1
Dari Pos 1 yg ketinggian mencapai 1650 mdpl, pendakian terus landai hingga mencapai Pos 2, diperlukan waktu tak lebih dari 1 jam perjalanan, disini tersedia mata air yg mengalir.
Pos 2
Perjalanan belum terlalu mendaki, masih landai dan mulai masuk vegetasi hutan khas sulawesi, waktu tempuh tak berbeda dengan dari Pos 1 ke Pos 2,
Pos 3
Di pos 3 juga tersedia mata air dan bisa mendirikan Tenda.
Pos 4
Pos 4 di tempuh dalam waktu lebih dari 1 Jam perjalanan dan perjalanan di lanjut hingga Pos 5, di pos 5 terdapat mata air, hanya saja lumayan jauh. Biasanya I Pos 5 digunakan untuk bermalam.

pos 5
Pos 5
Dari Pos 5, perjalanan mulai mendaki dan sepanjang perjalanan akan melewati Pohon-pohon yg tumbang karena dari Pos 5 – 6, hutannya habis terbakar, kalau mendaki malam hari sebaiknya berhati-hati, karena disini biasanya pendaki sering tersasar, karena jalur tak begitu terlihat.
Pos 6
Ketika tiba di Pos 6, perjalanan masih melalu hutan yg lumayan lebat, perjalanan terus melandai dan mulai mendaki dan hutan mulai menghilang berganti vegetasi hutan yg berbeda dan setelah 2 jam perjalanan, akan tiba di Pos 7, yg punya ketinggian 2710 mdpl.
Pos 7
Di Pos 7 pemandangan sangat indah dan lumayan terbuka. Dipos 7 inilah yg sering terjadi badai.
Pos 8
Dari Pos 7 menuju Pos 8, jalur mulai naik turun, di sepanjang jalur ini terdapat 2 kuburan dan ada pula In-memoriam pendaki yg tewas, setelah melewati 2 bukit yg punya ketinggian rata-rata 2700 mdpl, jalur akan menurun dan Tiba di Pos 8, disini tersedia mata air, dan biasanya pendaki bermalam disini baru keesokan paginya menuju puncak Bawakaraeng. Pemandangan rumput savana dan puncak bawakaraeng terlihat dari pos 8 ini, suhu pada malam hari antara 8-10 derajat.
Pos 9
Setelah melewati padang savana dan ada kebun edelweis maka akan Pos 9 di tempuh kurang lebih 1 jam perjalanan, di pos 9 juga bisa digunakan untuk mendirikan tenda.

pos 10 camp terakhir sebelum puncak
Pos 10
Pos 10 adalah Puncak Bawakaraeng. Untuk mencapai puncak bawakaraeng, tidak lah terlalu sulit, walaupun sedikit mendaki. Setelah menempuh kurang lebih ½ jam perjalanan, maka akan tiba di Puncak Bawakaraeng. Sebaiknya sebelum menuju puncak perhatian kondisi alam di puncak, terkadang angin bertiup lumayan kencang.
Rute alternative bisa juga menggunakan jalur lintas, yaitu melewati lembah Rama, dari Pos 1 ada percabangan jalan, ambil jalur kanan dan tembuh di Pos 8, jalur ini lumayan panjang dan melewati lembah yg lumayan luar, bisa melihat Air Terjun Taka Palu yg punya ketinggian 50 meter. Rute Alternative lintas LompoBatang, Pendakian bisa juga lintas ke Gunung LompoBatang melalui puncak bawakaraeng dan Turun di Kabupaten Gowa, menurut informasi dibutukan waktu 3 hari perjalanan.
JALUR TASSOSO
Dusun Tassoso’ terletak disebelah Timur Laut puncak Gunung Bawakaraeng. Daerah ini yang berda tepat dibawah kaki gunung ini dan berada pada ketinggian 1.320m d.p.l, pada posisi koordinat 119°58′38″ BT dan 05°58′55″ LS. Mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Curah hujan rata-rata adalah 78.7mm/tahun dengan suhu udara minimum 15°C dan maksimum 27°C. Urutan pencapaian dari Makassar sebagai berikut:
Makassar–> Sinjai Barat (Manipi)–> Gunung Perak (Tassoso)–> Puncak Gunung Bawakaraeng
Keadaan Puncak
Ketika tiba dipuncak Bawakaraeng, pemandangan di puncak ini termasuk yg paling bagus di sulawesi, tak heran setiap minggu gunung ini ramai di daki oleh para pendaki yg umumnya datang dari Sulawesi selatan, juga dari propinsi lainnya. Terdapat Sumur yg dikeramatkan oleh masyarakat, biasanya mereka mengambil air dari sumur tersebut untuk di bawapulang, juga terdapat batu yg biasa digunakan untuk sesajen. Luas puncaknya kurang lebih 100 m2, pemandangan Laut dan Kota Makassar di arah barat, di arah Timur Awan terlihat tebal dan terdiam menggumpal, di arah selatan terlihat Gunung Bulusaraeng dan arah selatan, adalah Gunung LompoBatang 2871 mdpl, bisa dilintasi lewat Gunung Bawakaraeng. Waktu tempuh untuk pendakian Gunung Bawakaraeng, kalau dirata-rata dari Desa Terakhir kira-kira 6 – 8 jam perjalanan.
Perijinan
Tidak ada perijinan yang berbelit-belit untuk mendaki gunung ini, hanya perlu melapor ke kepala desa setempat dan untuk lebih baiknya menyertakan surat jalan yang dilampiri data lengkap para pendakinya.
Keberadaan Porter
Didesa lembanna, kebanyakan penduduk bersedia untuk mengantar dan sekaligus menjadi Porter, hanya saja tak ada tariff yg jelas. Tergantung kesepakatan.

JALUR PENDAKIAN GUNUNG SEMERU

JALAN MENUJU PUNCAK SEMERU
Semeru merupakan Gunung Tertinggi se-Jawa. Di gunung ini masih menyimpan banyak misteri yang belum terungkap. Mulai dari Pendaki gunung yang meninggal sampai dengan orang yang hilang dan tidak diketemukan jasadnya setelah beberapa tahun lamanya.Disini pula katanya merupakan tempat bersemayamnya para dewa.mati.
Selain itu di sini juga banyak terdapat pemandangan yang indah, mulai dari danau Ranu Kumbolo, bukit yang beraneka ragam sampi letusan dari Gunung Semeru yang masih aktif ini (lebih dikenal dengan sebutan WEDUS GEMBEL).


Letusan Gunung Semeru yang hampir tiap 5-30 menit sekali terjadi (Wedus Gembel) di ambil dari Kali Mati    
                                                     
                                                   Rute Lewat Ranupane-Lumajang
Rute Angkutan Dari Surabaya sampai Ranupane - Lumajang
* Naik bis kota Surabaya-Malang (turun akhir-terminal Arjosari) tarip untuk Ekonomi Rp.2500 (resmi)
* Naik colt dari Arjosari menuju Tumpang (warna colt putih) tarip antara Rp. 1.000 s/d Rp. 1.500 (tawar menawar)
* Dari Tumpang kita lanjutkan perjalanan dengan angkutan Hartop (semacam Jip) disana lebih dikenal dengan nama Ranger
* Selama perjalanan Tumpang Ranupane biasanya kita ditanya sudah ijin atau belum untuk Pendakian (tujuan) dan lamanya pendakian.
 
Rute Pendakian Lewat Ranupane-Puncak Semeru
* Ranupane-Ranu Kumbolo (Danau) sekitar 3-4 jam.Biasanya pendaki istirahat di tempat ini 1 malam (atau di Ranupane bila kemalaman waktu tiba di Ranupane) (jarak tempuh sekitar 8-9 Km dengan kondisi jalan landai).
Selter Kalimati, posisi antara Ranu Kombolo-Arcapada (1-1,5 jam sebelum Arcapada.
Letusan Gunung Semeru yang hampir tiap 5-30 menit sekali terjadi (Wedus Gembel)

 

AKU CINTA ALAM


AKU
Ya aku adalah seorang pencinta alam, dan semua yang kau tuduhkan itu benar. Aku adalah lelaki pengejar sepi dan penghindar kesepian. Aku senang menciptakan kenangan. Senang bekerja keras sekaligus senang bermalas malasan. Itu semua benar adanya.
Mengenai kesukaanku pada api unggun, ketinggian, mengecup cantiknya suasana alam, persaudaraan, kopi yang airnya dididihkan di atas perapian, bercengkerama di dalam tenda, aku juga tidak hendak menyangkalnya. Semua itu berbanding sempurna dengan kecintaanku pada korek api dan beberapa alat survival kit.
Tapi kau terlalu mengada ada jika menganggap aku sebegitunya membenci para politisi. Bukan.. tidak seperti itu. Aku memang sama sekali tidak respek pada intrik, manipulasi, senyum palsu, dan segala hal yang sepadan dengan itu. Bukan berarti aku anti politik. Bukan pula aku membabi buta membenci segala hal yang berbau pergerakan politik.
Itu tidak penting. Dengan kata lain, ada yang lebih penting dari itu.
Survive melakoni hidup dengan mengikuti kemana hati membawa, begitulah seharusnya menjadi pencinta alam. Meskipun ada yang berkata, hidup dengan cara mengikuti hati nurani hanya akan membawa kita pada dua hal. Jika tidak berujung pada kebahagiaan maka dia akan gila. Dan aku menerima resiko itu dengan segala cinta.
Hanya karena aku pencinta alam, bukan berarti aku tidak bisa memberimu sekuntum edelweiss. Tapi apakah itu mungkin? Puncak rengganis pun mengerti jika sekuntum edelweiss itu adalah dirimu.

Selasa, 24 Juli 2012

JALUR PENDAKIAN GUNUNG LATIMOJONG

Latimojong adalah gunung tertinggi di Sulawesi Selatan, yang memiliki tujuh puncak, dengan puncak tertinggi Rante Mario dan ketinggian 3.680 meter di atas permukaan laut. Membentang dari selatan ke utara, Latimojong sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Enrekang, sebelah utara dengan Kabupaten Tana Toraja, sebelah selatan dengan Kabupaten Sidrap, dan sebelah timur dengan Luwu sampai pinggir pantai Teluk Bone.
Pendakian ke puncak Latimojong itu kami mulai pada 14 Agustus 2010. Dari truk yang melaju di jalan beraspal, terlihat pemandangan rumah panggung berjejer. Hasil pertanian, seperti kopi, dijemur di halaman. Rumah-rumah itu dibatasi oleh kebun salak. Kabupaten Enrekang memang terkenal sebagai salah satu daerah penghasil salak di Sulawesi Selatan.
Dari kejauhan terlihat bukit-bukit batu terjal, yang berada di antara bukit-bukit hijau. Jalan semakin menanjak. Setelah sekitar satu jam perjalanan, truk meninggalkan jalan beraspal dan mulailah melaju di jalan berbatu, kemudian jalan tanah.
Adrenalin kami mulai terpacu saat melihat jalan licin dan becek, sedangkan di sisi kiri jurang menganga dalam dan sisi kanan tebing tinggi. Jalan bergelombang itu pun ikut mengocok-ngocok kami. Akibatnya, kami terbanting ke sana-kemari meski telah berpegangan erat serta memaksa sopir truk bekerja ekstrakeras.
Terhalang kubangan lumpur yang sulit dilalui, perjalanan terhenti sejenak untuk memperbaiki jalan: menggali gundukan tanah dan mencari batu untuk ditaruh di balik ban mobil yang tertanam lumpur. Bahkan sempat juga truk melewati sungai tanpa jembatan, seperti arena off-road.



Setelah lebih dari tiga jam terguncang-guncang di atas truk, kami pun tiba di Rante Lemo, desa terakhir yang dapat dilalui kendaraan roda empat. Waktu menunjukkan pukul 14.15 Wita. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki melalui jalan setapak.


Tak terasa jarak 10 kilometer kami tempuh selama dua jam berjalan kaki dan sampailah kami di Dusun Karangan, Desa Latimojong, Kecamatan Buntu Batu, Enrekang. Inilah dusun terakhir sebelum mendaki Gunung Latimojong. Hari sudah gelap, kami menginap semalam di rumah kepala dusun.
Walau terpencil, penduduk dusun itu dapat menikmati penerangan listrik. Namun, bukan dari PLN. Secara swadaya masyarakat memanfaatkan aliran sungai dan memasang kincir air yang menghasilkan daya, kemudian dialirkan ke rumah-rumah warga.
“Jadi di sini penduduk tidak perlu membayar listrik karena ini diusahakan oleh warga sendiri. Lucunya, kadang nyala lampu yang sangat terang tiba-tiba redup, bergantung pada deras arus yang memutar kincir,” ujar Tahir, Kepala Dusun Karangan.
Esok paginya, pendakian dimulai. Dengan memanggul ransel masing-masing, kami berjalan melalui jalan setapak meninggalkan Dusun Karangan menuju puncak Latimojong.
Belum jauh dari dusun, terhampar pemandangan pohon-pohon kopi di sisi kiri dan kanan jalan setapak, dengan buah merah mencolok. Tampak pula karung yang berisi biji-biji kopi yang baru dipanen.
Medan makin menanjak. Meski belum berjalan terlalu jauh, napas sudah tidak beraturan. Sebelum tiba di Buntu Kacillin, sebutan untuk Pos I, perjalanan harus menyeberangi dua sungai dengan meniti beberapa batang pohon yang melintang di atas sungai. Kemudian kami melalui beberapa lahan yang baru dibuka oleh warga untuk perkebunan kopi.
Dari sana, jauh di bawah, tampak indahnya pemandangan yang hijau, dan dari kejauhan tampak desa-desa permukiman warga setempat.
Selanjutnya adalah wilayah hutan lebat. Kondisi jalan pun sudah mulai tidak bersahabat. Bahkan terkadang kami harus meniti pinggiran jurang dengan berpegangan pada akar-akar pohon. Rasa takut kadang tiba-tiba datang jika melihat ke bawah jurang. Saya harus memakai kaus tangan agar tangan tidak terluka saat berpegangan pada akar-akar pohon.
Di hutan ini terdapat banyak pohon rotan. Para pemandu menyarankan untuk membuat gelang dari rotan. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, mengenakan gelang rotan bisa terlindung dari gangguan “para penunggu”. Gelang rotan ini juga merupakan simbol bahwa kita bertamu secara baik dan diterima warga setempat. Konon, gelang rotan ini adalah simbol leluhur warga setempat, yakni Nenek Janggok Riri, bersama istrinya, Nenek Menga.
Selain memakai gelang rotan, tanda-tanda alam juga harus diperhatikan. Konon, jika kita sedang dalam perjalanan mendaki Gunung Latimojong dan mendengar kicauan burung, itu pertanda bagus dan kita bisa melanjutkan perjalanan. Sebaliknya, jika kita mendengar suara sengatan lebah, sebaiknya kita kembali dan tidak melanjutkan perjalanan karena itu merupakan pertanda buruk.
Menuju Sarungpa’pa–sebutan untuk Pos II–jalan tidak selalu mendaki. Semakin dekat menuju Pos II, jalan menurun dan licin karena lembap. Sarungpa’pa berada di pinggir sungai. Tidak begitu luas, hanya berupa bongkahan batu besar yang agak lapang dan gua batu terbuka. Namun, tempat ini menjadi salah satu pilihan bagi pendaki untuk beristirahat, bahkan menginap karena dekat dengan sumber air.
Medan berikutnya menuju To’nase (Pos III) sangat sulit walau jarak tempuhnya pendek. Tebing dengan rata-rata kemiringan 70-85 derajat, belum lagi kondisi tanah yang licin, mengharuskan kami untuk memanjatnya. Namun, di sinilah etape perjalanan paling seru meski sangat berbahaya.
“Awas, batu. Ada batu,” terdengar teriakan dari atas, mengingatkan kami bahwa ada batu jatuh. Kami yang berada di bawah pun ekstrahati-hati agar tidak terkena batu.
Melintasi etape itu, beberapa orang terpaksa ditarik dengan menggunakan tali. “Meski berbahaya, saya sangat suka karena menantang,” kata Mang Kus dari Karpala Kalfa.
Perjalanan menuju Pe’uwean (Pos IV)–setelah beristirahat sejenak di To’nase–lebih bersahabat meski mendaki. Akar-akar pohon sebagai tumpuan dan pegangan tersusun lebih rapi. Begitu pula dengan batang pohon yang menjadi tumpuan alternatif. Kondisi hutan pun makin lebat dan lembap. Kabut sempat turun beberapa saat.
Jam di tanganku menunjukkan pukul 17.20 Wita ketika kami tiba di Pe’uwean, yang ditumbuhi pohon-pohon besar. Suasana makin mencekam saat kabut turun yang makin membatasi jarak pandang. Apalagi ketika menyusuri hutan semakin dalam, selain kabut dan hutan lebat, jarak pandang terhalang gelapnya malam. Kami pun menggunakan senter kecil sebagai alat penerangan untuk menuntun langkah.
Saya sempat drop ketika rasa lelah, lapar, dan dingin menusuk. Dengan bantuan sekaleng susu dan istirahat sejenak, akhirnya saya dapat melanjutkan pendakian meski dengan ritme lambat dan lebih sering berhenti.
Di antara lebatnya pohon, saya sempat menikmati cahaya bintang-bintang yang bertebaran di langit. “Sangat indah dan mata rasanya tak ingin berpaling. Pemandangan seperti ini jarang kita temui jika kita bermukim di kota besar,” kata saya kepada Ully.
Akhirnya sampailah kami di Soloh Tama (Pos V) sekitar pukul 20.30 Wita, tempat kami menginap malam itu di tengah sergapan rasa dingin, meski saya telah memanaskan tubuh di pinggir kobaran api. Di sekitar tempat itu ada sebuah sungai, yang untuk mencapainya harus melewati medan yang terjal dan licin.
Perjalanan menuju puncak Rante Mario dilanjutkan esok paginya. Pos demi pos selanjutnya pun kami lalui. Untuk sampai ke Paperangian (Pos VI) pun terasa lebih singkat walau medan lumayan licin karena banyak batu besar.
Kondisi hutan di ketinggian sekitar 3.000 meter dpl terasa lembap. Batang-batang pohon di sekeliling kami ditutupi lumut. Sementara itu, di Buntu Lebu (Pos VII) terdapat bukit-bukit batu dan pohon-pohon kerdil, tempat kami beristirahat setelah mendirikan tenda di tepi sungai kecil.
Perjuangan mencapai puncak Rante Mario akhirnya tercapai setelah mendaki tebing, melalui bukit-bukit batu dan hutan berpohon kerdil. Kami pun langsung menuju titik triangulasi di ketinggian 3.680 meter dpl.
Segala kelelahan terbayar seketika saat melihat pemandangan yang indah, kala matahari beranjak ke arah barat, dengan berkas warna kuning keemasan menerpa awan putih.

Selasa, 03 Juli 2012

JALUR PENDAKIAN GUNUNG CIREMAI

Add caption

Gunung Ceremai termasuk gunungapi Kuarter aktif, tipe A (yakni, gunungapi magmatik yang masih aktif semenjak tahun 1600), dan berbentuk strato. Gunung ini merupakan gunungapi soliter, yang dipisahkan oleh Zona Sesar Cilacap – Kuningan dari kelompok gunungapi Jawa Barat bagian timur (yakni deretan Gunung Galunggung, Gunung Guntur, Gunung Papandayan, Gunung Patuha hingga Gunung Tangkuban Perahu) yang terletak pada Zona Bandung.
Ceremai merupakan gunungapi generasi ketiga. Generasi pertama ialah suatu gunungapi Plistosen yang terletak di sebelah G. Ceremai, sebagai lanjutan vulkanisma Plio-Plistosen di atas batuan Tersier. Vulkanisma generasi kedua adalah Gunung Gegerhalang, yang sebelum runtuh membentuk Kaldera Gegerhalang. Dan vulkanisma generasi ketiga pada kala Holosen berupa G. Ceremai yang tumbuh di sisi utara Kaldera Gegerhalang, yang diperkirakan terjadi pada sekitar 7.000 tahun yang lalu (Situmorang 1991).
Letusan G. Ceremai tercatat sejak 1698 dan terakhir kali terjadi tahun 1937 dengan selang waktu istirahat terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Tiga letusan 1772, 1775 dan 1805 terjadi di kawah pusat tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Letusan uap belerang serta tembusan fumarola baru di dinding kawah pusat terjadi tahun 1917 dan 1924. Pada 24 Juni 1937 – 7 Januari 1938 terjadi letusan freatik di kawah pusat dan celah radial. Sebaran abu mencapai daerah seluas 52,500 km bujursangkar (Kusumadinata, 1971). Pada tahun 1947, 1955 dan 1973 terjadi gempa tektonik yang melanda daerah baratdaya G. Ciremai, yang diduga berkaitan dengan struktur sesar berarah tenggara – barat laut. Kejadian gempa yang merusak sejumlah bangunan di daerah Maja dan Talaga sebelah barat G. Ceremai terjadi tahun 1990 dan tahun 2001. Getarannya terasa hingga Desa Cilimus di timur G. Ceremai.

JALUR PEDAKIAN

 Puncak gunung Ceremai dapat dicapai melalui banyak jalur pendakian. Akan tetapi yang populer dan mudah diakses adalah melalui Desa Palutungan dan Desa Linggarjati di Kab. Kuningan, dan Desa Apuy di Kab. Majalengka. Satu lagi jalur pendakian yang jarang digunakan ialah melalui Desa Padabeunghar di perbatasan Kuningan dengan Majalengka di utara. Di kota Kuningan terdapat kelompok pecinta alam "PANON POE" yang dapat membantu menyediakan berbagai informasi dan pemanduan mengenai pendakian Gunung Ceremai.

GUNUNG CIREMAI

Gunung Ceremai (seringkali secara salah kaprah dinamakan "Ciremai") secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Posisi geografis puncaknya terletak pada 6° 53' 30" LS dan 108° 24' 00" BT, dengan ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat.
Gunung ini memiliki kawah ganda. Kawah barat yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang beradius 600 m. Pada ketinggian sekitar 2.900 m dpl di lereng selatan terdapat bekas titik letusan yang dinamakan Gowa Walet.
Kini G. Ceremai termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), yang memiliki luas total sekitar 15.000 hektare.
Nama gunung ini berasal dari kata cereme (Phyllanthus acidus, sejenis tumbuhan perdu berbuah kecil dengan rada masam), namun seringkali disebut Ciremai, suatu gejala hiperkorek akibat banyaknya nama tempat di wilayah Pasundan yang menggunakan awalan 'ci-' untuk penamaan tempat.

JALUR PENDAKIAN


Senin, 02 Juli 2012

Kumpulan Kata Kata Bijak Soe Hok Gie ( 1942-1969)

Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran. - Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah. - Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau. - Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda. - Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan. - Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia. - Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun. - Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi. - Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir? - Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis… - Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah. - Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita. - Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia. - To be a human is to be destroyed. - Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin. - Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan. - I’m not an idealist anymore, I’m a bitter realist. - Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata. - Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan. - Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya. - Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.

Jumat, 20 Januari 2012

Kerinduan, Kegundahan, ketakutan,...
telah menetes dari daun bertakangkaikan sosok abstrak naluriku
setlah kedinginan malam membuatnya benar-benar berselimutkan kekalutan
kau, seperti titik cahaya dalam alam terik